1. MASUKNYA ISLAM KE LOMBOK
..
Sebelum masuknya Islam, masyarakat yang mendiami pulau Lombok
berturut-turut menganut kepercayaan animisme, dinamisme kemudian Hindu.
Islam pertama kali masuk melalui para wali dari pulau Jawa yakni sunan
Prapen pada sekitar abad XVI, setelah runtuhnya kerajaan Majapahit.
Bahasa pengantar yang digunakan para penyebar tersebut adalah bahasa
Jawa Kuno. Dalam menyampaikan ajaran Islam, para wali tersebut tidak
serta merta menghilangkan kebiasaan lama masyarakat yang masih menganut
kepercayaan lamanya. Bahkan terjadi akulturasi antara Islam dengan
budaya masyarakat setempat, karena para penyebar tersebut memanfaatkan
adat-istiadat setempat untuk mempermudah penyampaian Islam. Kitab-kitab
ajaran agama pada masa itu ditulis ulang dalam bahasa Jawa Kuno. Bahkan
syahadat bagi para penganut Wetu Telu dilengkapi dengan kalimat dalam
bahasa Jawa Kuno. Pada masa itu, yang diwajibkan untuk melakukan
peribadatan adalah para pemangku adat atau kiai saja.
Kerajaan Lombok, ketika Kerajaan ini dipimpin oleh Prabu Rangkesari, Pangeran Prapen, putera Sunan Ratu Giri datang mengislamkan kerajaan Lombok. Dalam Babad Lombok disebutkan, pengislaman ini merupakan upaya dari Raden Paku atau Sunan Ratu Giri dari Gersik, Surabaya yang memerintahkan raja-raja Jawa Timur dan Palembang untuk menyebarkan Islam ke berbagai wilayah di Nusantara. Proses pengislaman oleh Sunan Prapen menuai hasil yang menggembirkan, hingga beberapa tahun kemudia seluruh pulau Lombok memeluk agama Islam, kecuali beberapa tempat yang masih memepertahankan adat istiadat lama.
Sementara di Kerajaan Lombok, sebuah kebijakan besar dilakukan Prabu
Rangkesari ....
dengan memindahkan pusat kerajaan ke Desa Selaparang atas usul Patih Banda Yuda dan Patih Singa Yuda. Pemindahan ini dilakukan dengan alasan letak Desa Selaparang lebih strategis dan tidak mudah diserang musuh dibandingkan posisi sebelumnya.
dengan memindahkan pusat kerajaan ke Desa Selaparang atas usul Patih Banda Yuda dan Patih Singa Yuda. Pemindahan ini dilakukan dengan alasan letak Desa Selaparang lebih strategis dan tidak mudah diserang musuh dibandingkan posisi sebelumnya.
Di bawah pimpinan Prabu Rangkesari, Kerajaan Selaparang berkembang
menjadi kerajaan yang maju di berbagai bidang. Salah satunya adalah
perkembangan kebudayaan yang kemudian banyak melahirkan manusia-manusia
sebagai khazanah warisan tradisional masyarakat Lombok hari ini. Dengan
mengacu kepada ahli sejarah berkebangsaan Belanda L. C. Van den Berg
yang menyatakan bahwa, berkembangnya Bahasa Kawi sangat mempengaruhi
terbentuknya alam pikiran agraris dan besarnya peranan kaum intelektual
dalam rekayasa sosial politik di Nusantara, Fathurrahman Zakaria (1998)
menyebutkan bahwa para intelektual masyarakat .
Buku Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat (2002) mencatat setidak-tidaknya tiga pendapat tentang asal muasal kerajaan Selaparang.
Pertama,
disebutkan bahwa kerajaan ini merupakan proses kelanjutan dari kerajaan
tertua di pulau Lombok, yaitu Kerajaan Desa Lae' yang diperkirakan
berkedudukan di Kecamatan Sambalia, Lombok Timur sekarang. Dalam
perkembangannya masyarakat kerajaan ini berpindah dan membangun sebuah
kerjaan baru, yaitu kerajaan Pamatan di Kecamatan Aikmel dan diduga
berada di Desa Sembalun sekarang. Dan ketika Gunung Rinjani meletus,
penduduk kerajaan ini terpencar-pencar yang menandai berakhirnya
kerajaan. Betara Indra kemudian mendirikan kerajaan baru bernama
Kerajaan Suwung, yang terletak di sebelah utara Perigi sekarang. Setelah
berakhirnya kerajaan yang disebut terakhir, barulah kemudian muncul
Kerajaan Lombok atau Kerajaan Selaparang.
Kedua,
disebutkan bahwa setelah Kerajaan Lombok dihancurkan oleh tentara
Majapahit, Raden Maspahit melarikan diri ke dalam hutan dan sekembalinya
tentara itu Raden Maspahit membangun kerajaan yang baru bernama Batu
Parang yang kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Selaparang.
Ketiga,
disebutkan bahwa pada abad XII, terdapat satu kerajaan yang dikenal
dengan nama kerajaan Perigi yang dibangun oleh sekelompok transmigran
dari Jawa di bawah pimpinan Prabu Inopati dan sejak waktu itu pulau
Lombok dikenal dengan sebutan Pulau Perigi. Ketika kerajaan Majapahit
mengirimkan ekspedisinyo ke Pulau Bali pada tahun 1443 yang diteruskan
ke Pulau Lombok dan Dompu pada tahun 1357 dibawah pemerintahan Mpu Nala,
ekspedisi ini menaklukkan Selaparang (Perigi?) dan Dompu.
Agak sulit membuat kompromi penafsiran untuk menemukan benang merah
ketiga deskripsi di atas. Minimnya sumber-sumber sejarah menjadi alasan
yang tak terelakkan. Menurut Lalu Djelenga (2004), catatan sejarah
kerajaan-kerajaan di Lombok yang lebih berarti dimulai dari masuknya
Majapahit melalui exspedisi di bawah Mpu Nala pada tahun 1343, sebagai
pelaksanaan Sumpah Palapa Maha Patih Gajah Mada yang kemudian diteruskan
dengan inspeksi Gajah Mada sendiri pada tahun 1352.
Selaparang dan Pejanggik sangat mengetahui Bahasa Kawi. Bahkan kemudian
dapat menciptakan sendiri aksara Sasak yang disebut sebagai jejawen.
Dengan modal Bahasa Kawi yang dikuasainya, aksara Sasak dan Bahasa
Sasak, maka para pujangganya banyak mengarang, menggubah, mengadaptasi,
atau menyalin manusia Jawa kuno ke dalam lontar-lontar Sasak.
Lontar-lontar dimaksud, antara lain Kotamgama, lapel Adam, Menak Berji,
Rengganis, dan lain-lain. Bahkan para pujangga juga banyak menyalin dan
mengadaptasi ajaran-ajaran sufi para walisongo, seperti lontar-lontar
yang berjudul Jatiswara, Lontar Nursada dan Lontar Nurcahya. Bahkan
hikayat-hikayat Melayu pun banyak yang disalin dan diadaptasi, seperti
Lontar Yusuf, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Sidik Anak Yatim, dan
sebagainya.
Desa Bayan, Lombok Utara, 80 kilometer arah utara Mataram, ibu kota Nusa
Tenggara Barat, dan keseharian masyarakatnya selama bulan suci Ramadhan
tidaklah berbeda dengan banyak wilayah pedesaan di Indonesia. Dari tepi
jalan lingkar Pulau Lombok, keberadaan bangunan yang telah menjadi
situs purbakala yang dilindungi tersebut tak mencolok, seperti juga
rumah-rumah di desa itu. Dari tepi jalan hanya tampak pagar tembok
dengan dua rumah kecil di kedua sisi gerbang, kantor tempat pendaftaran
pengunjung, dan rumah penjaga situs.
Selain di Bayan, masjid kuno juga ada di Gunung Pujut, di Desa Rembitan
dan Masjid Ar Raisiyah, Masjid yang termasuk dalam kawasan Desa
Sekarbela. Meski punya ciri yang sama, situs dan budaya di tempat-tempat
itu memiliki perbedaan yang menjadi tanda Islam masuk Lombok di
beberapa tempat sekaligus. Islam masuk Lombok melalui Jawa, Gowa, dan
Bima. Mengenai Bayan, masuknya dari Jawa.
Masjid Ar Raisiyah, Masjid yang termasuk dalam kawasan Desa Sekarbela
ini telah mengalami renovasi beberapa kali. Renovasi yang pertama
dilakukan setelah Masjid terbakar akibat peperangan antara masyarakat
Sekarbela yang menuntut kematian Tuan Guru Padang Reak dengan penguasa
saat itu. Saat itu, bentuk masjid Sekarbela berbentuk empat persegi
dengan dinding bedek, atap rumbia, lantai tanah dan yang menjadi ciri
khas adalah empat soko guru.
Setelah kebakaran, Masjid dibangun kembali oleh TGH Mustafa dan TGH Moh.
Toha. Bentuk Masjid masih sederhana dengan empat soko guru. Dari
peninggalan yang ada yakni sebuah kaligrafi tertulis angka 1350 H. Saat
itu bangunan Masjid sudah lebih baik dari sebelumnya namun masih
sederhana. Kemudian pada tahun 1890 M, atas prakarsa TGH M Rais, masjid
direnovasi dengan memanfaatkan atap dari genteng. Jamaah yang semakin
banyak menginspirasikan penerus selanjutnya, yakni TGH Muktamat Rais
anak dari TGH Muhamaad Rais, untuk membangun kembali Masjid pada tahun
1974 dengan kontruksi beton. Namun dikarenakan jamaah yang semakin
banyak dan kompleknya kegiatan, pada tahun 2001 Masjid direnovasi
kembali dengan desain Timur Tengah dan berlantai tiga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar